Dalam buku Ironi Cukai Tembakau, Karut Marut Hukum dan Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau; sejak tahun 1858, tembakau sudah menjadi salah satu sumber pemasukan bagi pemerintah kolonial Belanda.
Maka sejak itu, komoditi eksotis ini dibebani pungutan pajak dalam bentuk cukai, yakni atas produk olahannya dalam bentuk rokok, sehingga sering juga disebut sebagai cukai rokok.
Pemerintah Belanda kemudian mengaturnya dalam Stastsblad Nomor 517 Tahun 1922, Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang “Tabaksaccijns-Ordonnantie”. Peraturan2 itu mengatur tentang pita cukai, bea ekspor dan bea masuk impor, termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai tersebut.
Pada masa Orde Baru, pengaturan cukai rokok atau cukai tembakau semakin kompleks dan semakin dipadukan dengan semua ketentuan mengenai cukai komoditi lainnya dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai. Pada dasarnya, penetapan besarnya cukai pada masa ini menggabungkan pendekatan atas dasar HJE dan atas dasar jumlah batang rokok yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan.
Pada masa reformasi, muncul lagi UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang perubahan atas cukai hasil tembakau. Peraturan baru tapi tidak banyak berbeda dengan undang2 yang digantikannya, terutama cara penghitungan besaran cukai, serta pemberlakuan cukai beragam sesuai penggolongan jenis rokok dan skala perusahaannya.
Lalu muncul lagi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 ttg Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi DBHCHT serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 ttg Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Peraturan baru inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Baik pada aras konseptual tentang dana bagi hasil itu sendiri maupun pada aras praktis tentang pelaksanaannya sebagai bagian dari mekanisme sistem pengelolaan keuangan negara.